Seni Menjalani Hidup Dengan Teratur Dan Terukur : Review Buku Slow Living

Review buku slow living

Dulu saat baru lulus kuliah pernah merasakan satu tahun hidup di Jakarta dan merasakan pergi pagi pulang malam mengejar bis kota dan berdesak-desakan. Ritme hidup yang cepat dan segala sesuatu berpacu dengan waktu. Hidup terasa sempit, saya hampir tidak punya waktu untuk mengerjakan hal lain. Saya merasa miskin waktu dan justru di tengah kesibukan tersebut malah merasakan bahwa hidup ini kurang produktif.

Setiap hari serasa dikejar target dan harus bisa mengerjakan banyak hal yang menjadi tuntutan target, benar-benar tidak ada waktu untuk melakukan hal yang saya suka. Berpuluh tahun kemudian saya baru tahu kondisi yang saya alami ini disebut dengan Chomsky. Chomsky adalah salah satu kemiskinan baru yang diakibatkan oleh seseorang tidak memiliki waktu santai sehingga menjalani hidup serba cepat sehingga melahirkan hidup tak berkualitas.

Slow living adalah tidak tergesa-gesa semua hal dilakukan dengan cermat dan paham kapan berlari dan kapan melambat. Slow living adalah fokus pada sedikit hal dan investasikan waktu pada hal-hal penting. Hindari sibuk tapi malah berakhir tidak produktif karena semua dikerjakan serba terburu-buru sehingga banyak target namun sedikit yang mencapai target.

Jadi apa sebenarnya gaya hidup slow living itu? Menurut buku ini, Slow Living bermula dari sebuah akronim yaitu S- Sustainable, L- Local, U- Organic, dan W- Whole. Dengan slow living kita diajak untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Sadar dengan situasi yang dihadapi, sadar aktivitas yang dilakukan, sadar dengan apa yang dibutuhkan dan berusaha ada waktu saat ini untuk menjalankan segalanya sebaik mungkin. 

Slow living juga ada kaitannya dengan stoikisme. Stoikisme adalah belajar hidup tenang dari situasi sulit yang tidak terduga (keterampilan penguasaan diri). Kaum stoa memiliki prinsip untuk tidak berusaha mengendalikan apapun yang berada di luar kendali diri manusia. Kaum stoa hanya fokus untuk mengendalikan bagian internal atau apa yang ada dalam diri manusia seperti pikiran, emosi, persepsi, keinginan, tindakan dan semua yang berasal dari dalam diri. Prinsip stoikisme ini  berguna untuk menjalankan prinsip hidup slow living. 

Tergesa-gesa akan melahirkan ketidakbaikan. Tergesa-gesa karena sibuk jadi memilih makan fast food karena tidak sempat memasak. Serba terburu-buru dalam segala hal akan melahirkan sebuah penyakit baru yaitu Hurry Sickness yaitu pola perilaku yang membuat kita selalu merasa terburu-buru. Slow living adalah belajar sadar disini kini, belajar untuk menerapkan mindfulness. Slow living mengajak manusia hidup melambat, artinya hidup lebih tertata dan tertib. Seseorang yang menjalani hidup slow living dia tau kapan jalan dan kapan berhenti.

Terburu-buru hidup dalam dunia yang serba cepat melahirkan manusia yang mudah terdistraksi apalagi di zaman digital seperti sekarang ini. Manusia yang mudah terbawa arus FOMO, FOBO dan Nomophobia adalah manusia yang jauh dari slow living. FOMO (Fear of Missing Out) adalah rasa takut ketinggalan karena tidak mengikuti aktivitas tertentu apalagi jika aktivitasnya tersebut sedang viral dan kekinian. Stress jika dirinya tidak up to date. 

FOBO (fear of being offline) adalah suatu kondisi dimana seseorang takut tidak terkoneksi secara daring. Manusia yang tidak memiliki kesadaran untuk membatasi diri dengan internet akan terjebak dalam kehidupan FOBO. JIka kamu sudah tidak bisa lepas dari ponsel sedetik pun maka bisa jadi kamu sudah termasuk ke dalam kelompok orang FOBO. Nomophobia atau no mobile phone phobia. Istilah yang merujuk pada seseorang yang memiliki rasa takut berlebih ketika jauh dari ponselnya. 

Itulah contoh manusia yang tidak menerapkan slow living. Cape kaan? Itulah mengapa slow living itu penting. 

SLow living juga mengajak kamu untuk mencintai takdir yang menghampiri. Kalau masalah ini rasanya related dengan ajaran agama saya yaitu islam. Dalam islam ada yang namanya rukun iman dan salah satunya adalah iman kepada qodo dan qodar. Jadi saat saya mengimani takdir dan ketentuan dari Tuhan saya maka secara langsung saya sudah menjalankan konsep slow living.

Dengan menerima qodo dan qodar kita tidak akan kecewa karena paham bahwa tidak semua keinginan manusia itu bisa terpenuhi. Mencintai takdir adalah salah satu cara untuk lebih menikmati hidup. Slow living akan memaklumi jika ternyata masih ada kekurangan dalam diri. Tetap semangat, tetap memiliki harapan meski tanpa ketergesaan. Itu;ah Slow living. Hidup melambat bukan berarti kalah, justru hidup melambat mendekati sebuah kemenangan.

Dalam buku Slow Living ini setelah menjelaskan sesuatu tema atau sebuah hal akan diikuti oleh beberapa tips untuk mencapai hal tersebut. Sebagai contoh di bab 1 penulis menjelaskan tentang menjadi produktif tidak selalu harus menjadi sibuk. Nah, selanjutnya penulis memberikan beberapa tips bagaimana agar bisa tetap produktif tanpa harus sibuk dan kehilangan banyak waktu. Begitu pula di bab-bab selanjutnya. Jadi saya seneng baca bukunya soalnya banyak tips dan trik untuk mencapai konsep slow living ini.

Bukunya tipis hanya memiliki 116 halaman jadi dalam 1 atau 2 hari bisa diselesaikan membacanya. Ukuran font hurufnya pas tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar. Slow Living buku dengan subjek psikologi yang layak untuk dibaca semua usia mulai dari remaja hingga dewasa. Tidak terlalu berat dan kata-katanya pun bisa dicerna dengan mudah. Dalam buku ini juga banyak quotes-quotes bermanfaat dan bermakna untuk pembaca.

Heni Hikmayani Fauzia

Berbagi Informasi seputar buku dari berbagai subjek

Recommended Articles

10 Comments

  1. Buku Slow Living ini mengajarkan kita untuk menikmati hidup dengan lebih santai dan teratur. Konsepnya sangat relevan dengan gaya hidup modern yang serba cepat. Saya jadi ingin membaca bukunya!

    1. salah satu buku rekomended kalau menurut saya kaa

  2. Terburu-buru dalam segala hal memang tidak baik. Harus perlahan tapi pasti. Harus yakin dan komitmen dalam menjalani kehidupan yang penuh misteri ini.
    Bagus juga nih bukunya, jadi bisa sebagai panduan ya dalam menjalankan konsep slow living.

    1. Iya bisa jadi salah satu panduan buat hidup slow living

  3. Aku jadi paham bahwa slow living tidak harus berarti pindah ke desa karena di sana cenderung tidak terburu-buru seperti di kota. Di manapun kita tinggal, kalau kita bisa menerapkan mindfullness dalam setiap mengerjakan sesuatu, maka kita sudah bisa menjalankan slow living.

    1. Naah betul mbaa..itu salah satu benang merahnya

  4. Untuk menjalani hidup dengan sabar dan tenang, memang gak mudah, tapi bukan berarti gak bisa dilakukan ya, karena kalo kitanya yakin dengan-NYA akan ada jalan kemudahan untuk melaluinya

    1. Iya belajar menerima takdir dari Tuhan

  5. Kalau denger slow living, yang kebayang adalah hidup santai di desa. Padahal ini kayaknya juga bisa diterapkan di kota juga ya, walau harus naik KRL tiap hari. Asal ada tata tertibnya. 😄

    1. Iya mba..kalau saya pemahamannya begitu..slow living bisa diterapkan dimana pun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *